Saturday, July 26, 2014

Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh
Alhamdulillah puji syukur kita kehadirat Allah subhaanahu wa ta’aala karena nikmat iman yang telah Allah berikan kepada kita. Saudariku, sebagaimana kita ketahui semakin jauh suatu zaman dari zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka akan semakin banyak fitnah yang terjadi di dalamnya baik fitnah syubhat maupun fitnah syahwat. Fitnah syahwat ini bisa terjadi apabila kita tidak mengenal siapa mahram kita dengan baik. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama belajar dan bersabar dalam membaca artikel ini.
            Saudariku, sering kita mendengar tentang istilah “bukan muhrim”. Namun sesungguhnya apakah kita tahu hakikat makna muhrim ini? Istilah muhrim adalah istilah yang salah karena muhrim merupakan istilah yang digunakan untuk seseorang yang sedang berihram (berniat untuk haji), dan yang tepat adalah “bukan mahram” (mahram adalah orang yang haram dinikahi). Sangat sedikit kaum muslimin yang mengetahui hakikat siapa mahramnya, sesungguhnya perkara ini amat penting karena kita akan dapat menjaga sikap di depan non-mahram dan mahram kita.
            Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi (lihat al-Wajiiz) menyatakan bahwa seorang wanita haram dinikahi karena tiga sebab, yaitu karena nasab (keturunan), persusuan, dan mushaharah (pernikahan). Oleh karena itu, mahram wanita juga terbagi menjadi tiga macam yaitu: mahram karena nasab atau keluarga, persusuan, dan pernikahan.
a. Mahram Karena Nasab
Mahram karena nasab adalah mahram yang berasal dari hubungan darah atau hubungan keluarga.
Allah ta‘aala berfirman dalam surat an-Nuur ayat 31 (yang artinya), “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka.’”
Menurut ahli tafsir, yang haram dinikahi bagi wanita menurut ayat ini adalah:
  1. Ayah (termasuk kategori ayah di sini adalah ayah kandung, kakek baik dari ibu maupun ayah, dan juga ayah-ayah mereka ke atas). Adapun bapak angkat tidak termasuk mahram.
  2. Anak laki-laki (kategori ini meliputi cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan).
  3. Saudara laki-laki, baik saudara kandung, maupun saudara sebapak, ataupun saudara seibu saja. Saudara angkat, anak kandung dari bapak atau ibu maka ia juga termasuk mahram.
  4. Keponakan (baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak mereka).
  5. Paman (baik paman dari ibu maupun dari bapak).
b. Mahram Karena Persusuan (ar-Radha’)
Menurut pendapat yang kuat dari para ulama, persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram mempunyai beberapa persyaratan yaitu:
  1. Telah terjadinya proses penyusuan selama 5 kali.
  2. Penyusuan terjadi selama masa bayi menyusui yaitu dua tahun sejak kelahirannya. (kajian Ustadz Aris Munandar tanggal 22 Juni 2012).
            Dalil yang menyatakan hubungan mahram dari persusuan yaitu “Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari persusuan” (QS. an-Nisaa’: 23).
            Disebutkan juga oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbasradhiyallaahu ‘anhu, beliau bersabda, “Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab” (HR. Bukhari 3/222/ 2645 dan Muslim 2/1068/ 1447).
            Dari dalil tersebut yang termasuk mahram karena sebab persusuan yaitu bapak persusuan (suami dari ibu susu), anak laki-laki dari ibu susu, saudara laki-laki sepersusuan, keponakan persusuan (anak saudara sepersusuan), dan paman persusuan (saudara laki-laki dari bapak atau ibu susu). (Ahkaamu an-Nikaah wa az-Zifaaf karya Abu ‘Abdillah Musthafa bin al-’Adawi hal 26).
c. Mahram Karena Mushaharah (Pernikahan)
            Hubungan mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah ta‘aala dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka…” (QS. an-Nuur: 31).
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)” (QS. an-Nisaa’: 22).
“Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. an-Nisaa’: 23).
            Berdasarkan pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa mahram bagi wanita karena sebab ini adalah: ayah mertua (ayah suami), anak tiri (anak dari suami atau istri lain), ayah tiri (suami ibu tapi bukan ayah kandungnya), dan menantu laki laki.
Adapun yang bukan mahram bagi wanita adalah ayah dan anak angkat, sepupu (anak paman atau bibi), saudara ipar, dan mahram titipan.
Yang Boleh Dilakukan dengan Mahramnya
Yang boleh dilakukan dengan mahram ini berbeda antara mahram karena nasab dan mahram karena persusuan. Yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan mahram karena persusuan yaitu:
  1. Boleh saling melihat.
  2. Boleh berkhalwat (berduaan).
  3. Boleh menjadi teman safar (bepergian jauh).
  4. Tidak diperbolehkan menikah.
  5. Keduanya tidak ada hubungan saling mewarisi.
  6. Tidak ada kewajiban menafkahi.
  7. Tidak merdeka secara otomatis jika salah satunya menjadi budak.
  8. Persaksiannya tidak ditolak jika dia seorang yang benar dan menguntungkan.
Hukum wanita dengan mahramnya secara umum diantaranya:
1)      Tidak boleh menikah dengan mahramnya.
2)      Mahram boleh menjadi wali pernikahan.
3)      Wanita tidak boleh safar (bepergian jauh) kecuali dengan mahramnya.
4)      Tidak boleh menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada mahramnya.
5)      Tidak boleh khalwat (berdua-duaan), kecuali bersama mahramnya.
6)      Tidak boleh berjabat tangan kecuali dengan mahramnya.
[Arliana Fajrin]
Sumber:
Ahkaamu an-Nikaah wa az-Zifaaf karya Abu ‘Abdillah Musthafa bin al-’Adawi
Kajian Ustadz Aris Munandar, M.Pd.I
Artikel di muslimah.or.id dengan penambahan dan pengurangan
Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

0 comments:

Post a Comment

Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh,

Peraturan Komentar :
[-] Harap memberi salam terlebih dahulu.
[-] Boleh memberi link, tetapi jangan Link Hidup!
[-] Blog ini Dofollow, Komentar yang bermanfaat.
[-] Dilarang menggunakan kata jorok, meso, dll.

Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.