Wednesday, July 31, 2013

Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh



Gonjang-Ganjing Wajib Militer

Wajib militer! Kata ini tentu membuat kebanyakan warga sipil di mana pun mengerut. Wajib militer artinya semua orang dalam suatu negara harus “mengenyam” latihan ala tentara. Departemen Pertahanan terus mempersiapkan RUU Wajib Militer. Mulai tahun 2008, Anda yang berusia berusia 18-45 tahun akan dikenakan wajib militer, demikian kutip islampos.com

Dilansir dari republika.co.id, pada awal juni lalu DPR RI sedang menggodok Rancangan Undang Undang Komponen Cadangan (Komcad) yang di dalamnya berisi peraturan soal wajib militer. Bagian RUU Komcad yang bicara soal wajib militer antara lain Pasal 6 ayat 3 dan Pasal 8 ayat 3 yang berbunyi, 'Komponen Cadangan disusun dalam bentuk satuan tempur yang disesuaikan dengan struktur organisasi angkatan sesuai masing-masing matra.'

Adapun Pasal 8 ayat 3 berbunyi, 'Pegawai negeri sipil, pekerja, dan atau buruh yang telah memenuhi persyaratan wajib menjadi anggota komponen cadangan.’

Beragam komentar muncul terkait RUU komcad ini. Mereka yang setuju berdalih dapat memberi kebanggaan kepada masyarakat berbuat nyata untuk Negara dan meningkatkan nasionalisme bangsa yang [Alhamdulillah] sekarang merosot. Sebagian lagi menganggap wajib militer bagi WNI sipil diperlukan karena TNI belum mampu melaksanakan fungsi pertahanan secara menyeluruh. Di pihak lain, Rektor Universitas Paramadina [kampus Pencetak Tokoh Liberal], Anis Baswedan, justru menilai Indonesia masih belum cukup siap untuk melakukan wajib militer. 

Berebut Dominasi

Saudaraku seiman yang dirahmati Allah, Islam dengan syariatnya yang mulia tidak mengenal dikotomi antara Militer dan Sipil dalam berpartisipasi dengan amal sholehnya dalam Negara yang menerapkan hukum Islam secara kaffah. 

Dalam pemerintahan militer, kelompok militerlah yang berkuasa, sehingga tidak jarang bersikap keras dan otoriter kepada rakyat. Militer dengan kekuatan senjatanya seharusnya tidak berperan untuk menguasai dan sewenang-wenang terhadap warga sipil. Sebaliknya 

dalam pemerintahan sipil dengan dominasi sistem demokrasinya, militer biasanya ‘dimanfaatkan’ sebagai simbol kediktatorannya. Pemerintahan sipil sebaiknya tidak menjadikan dan ‘memperalat’ militer dalam mengamankan kebijakan dan kekuasaannya

Bagaimana Islam mengaturnya?

Semua rakyat bisa menjadi militer (pasukan cadangan) apabila dibutuhkan. Meskipun, tetap harus ada militer reguler, yang digaji rutin dalam institusi negara. Islam memandang keduanya adalah mukallaf (manusia yang dibebani hukum) berdasarkan fungsinya yang berdasarkan kepada penerapan hukum Islam, bukan asal siapa yang berkuasa. Dengan sistem beginilah konflik berebut kekuasaan yang terjadi antara sipil dan militer dapat dihindari. 

Dalam tinjauan syariat Islam, pembagian fungsi semata-mata berdasarkan hukum Allah SWT. Militer menjalankan tugasnya menjaga ketertiban, stabilitas pertahanan dan keamanan, semata-mata karena menjalankan perintah Allah SWT dan mengharapkan ridho-Nya. Demikian pula rakyat sipil, menjalankan fungsi menilai dan memperbaiki kinerja penguasa, juga karena didasarkan perintah Allah dan mengharapkan ridho-Nya. 

Sipil dan militer sama-sama dibebani hukum Islam, termasuk jihad. Kewajiban Jihad [perang] adalah kewajiban seluruh kaum Muslim, tanpa melihat apakah mereka itu sipil ataupun militer.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

Berangkatlah [berperang] kalian, baik dalam keadaan (merasa) ringan ataupun (merasa) berat, serta berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS at-Taubah [9]: 41)

Kata infirû berbentuk umum; ditujukan atas seluruh kaum Muslim, tanpa melihat lagi istilah sipil-militer. Maksudnya ; Berangkatlah kalian, wahai kaum Muslim, ke Medan Perang. Karena itu, Islam tidak mengenal 
pengistimewaan militer atas sipil atau sebaliknya, dominasi sipil atas militer. Keduanya adalah sama; sebagai mukallaf yang terbebani seluruh hukum Islam. Mereka memiliki hak-hak dan kewajiban untuk berdakwah, amar makruf nahi mungkar, berpartisipasi dalam jamaah kaum muslimin, berjihad, dan beragam amal sholeh lainnya. 

Dengan kesamaan peran dan kedudukan militer dan sipil dalam Islam maka tidak perlu konsep peleburan militer dengan rakyat sipil dan semacamnya, karena memang faktanya rakyat sipil adalah orang yang juga dikenai kewajiban untuk memiliki keterampilan perang (melalui wajib militer) sebagai seorang prajurit yang siap sedia diterjunkan di medan perang. Dalam hubungan itu, Islam menurunkan syariat i’dad sebagai kewajiban militer muslim, yang disyari’atkan oleh Allah Ta’ala di dalam surat Al-Anfal ayat 60 : “Wahai kaum mukmin, bersiap dirilah kalian untuk menghadapi kaum kafir dengan segenap kemampuan kalian dan dengan pasukan berkuda, untuk menimbulkan ketakutan pada musuh-musuh Allah, musuh-musuh kalian dan orang diluar mereka.

Pada masa Rasulullah SAW, mobilisasi umum dilakukan manakala kaum Muslim diseru berperang. Saat itu, para sahabat Rasulullah turut melibatkan diri dalam pelatihan dan peperangan tersebut. Setelah perang usai, mereka pun kembali beraktivitas sebagaimana masyarakat biasa; ada yang menjadi petani, pedagang, dan lain-lain. Inilah bukti sejak 15 abad lalu dalam Islam sudah menerapkan konsep peperangan semesta. Dalam konteks Indonesia, seandainya Indonesia hari ini diserbu oleh Pasukan Salib NATO di Asia Pasifik, Australia, siapa yang nomer 1 menghadapi sang agresor tersebut? Jawabnya, tentu muslim Indonesia [insya’Alloh]. Muslim yang hari ini ternyata dimusuhi diintimidasi, dipenjara, bahkan dibunuh, itulah yang nomer satu menghadapi pasukan koalisi salib ini.

Tengok pula sejarah yang merekam bahwa kaum santri menutup sementara kitab kuning yang mereka kaji, untuk seruan jihad yang dikumandangkan melawan dan mengusir penjajah. Dengan ideologi mulia jihad fi sabilillah dan semangat mempertahankan darah dan harta, meski senjata apa adanya, kaum sarungan ini maju ke medan tempur. Muslim yang mayoritas di negeri ini, punya tanggung jawab spiritual dan praktikal untuk itu. Karena itu Bung Tomo ketika itu menyemangati pasukannya dengan pekik takbir ALLAHU AKBAR, bukan ucapan yang lain. Siapa yang memungkiri hal ini?

Pakar Konstitusi dari Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dr. Aidul Fitri Ciada Azhari, SH. M.H menjelaskan bahwa kata jihad merupakan bagian terpenting dan menjadi ruh perjuangan para pejuang sipil maupun bersenjata dalam melawan penjajahan. Bahkan pada 16 Juli 1945 Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada waktu itu, membuat risalah pembelaan negara. Yang menarik di dalam risalah itu, digunakan kata Jihad. Secara jelas para pendiri negara mengaitkan makna jihad dengan pertahanan dan pembelaan negara dalam menghadapi kolonialisme saat itu. 

Namun, Dr. Aidul menyayangkan keanehen para pejabat dan penguasa sekarang ini yang seakan-akan memusuhi istilah syar’i jihad. Menurutnya, makna jihad yang berarti mempejuangkan kemerdekaan dan agama mengalami pergeseran sejalan munculnya konsep pertahanan berwatak kebangsaan yang sekuler jauh dari nilai Islam.

Demikianlah betapa aturan Islam melengkapi dan menyempurnakan konsep wajib militer sebagai bentuk aktivitas keduniawian yang mempunyai bonus besar di sisi Alloh ta’ala. Seorang mukmin harus memahami bahwa kewajiban militer yang pantas kita yakini dan amalkan adalah dalam rangka berjuang membela kehormatan kaum muslimin serta meninggikan kalimatulloh di muka bumi melalui syari’at I’dad dan jihad fie sabilillah. Wallohu ‘alam. dawlam

0 comments:

Post a Comment

Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh,

Peraturan Komentar :
[-] Harap memberi salam terlebih dahulu.
[-] Boleh memberi link, tetapi jangan Link Hidup!
[-] Blog ini Dofollow, Komentar yang bermanfaat.
[-] Dilarang menggunakan kata jorok, meso, dll.

Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.